Kelangsungan Pembangkit Berbasis Batubara Dibayangi Tantangan

Tesa Oktiana Surbakti
08/6/2017 13:53
Kelangsungan Pembangkit Berbasis Batubara Dibayangi Tantangan
(ANTARA/Iggoy el Fitra)

CADANGAN melimpah dan biaya yang lebih murah menjadi alasan pemerintah menjadikan batubara sebagai tulang punggung energi primer pembangkit listrik. Dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2017-2026, komposisi pemanfaatan batubara mendominasi hingga 50%.

Pada kenyataannya, kebijakan global mulai mempersoalkan batubara yang dinilai berkontribusi negatif terhadap lingkungan. Di regional Asia Tenggara, Vietnam yang memiliki rencana ambisius mengembangkan pembangkit listrik berbasis batubara, kini mengambil ancang-ancang untuk beralih ke energi baru terbarukan (EBT).

Langkah meninggalkan energi fosil juga ramai-ramai dilakukan sejumlah negara. Sejauh ini, ada tiga negara yang masih mendukung aspek finansial terhadap pembangkit listrik berbasis batubara yakni, Jepang, Korea dan Tiongkok.

"Batubara memang sudah lama jadi common energy, tidak hanya di negara-negara Eropa melainkan juga Indonesia. Cuma semakin banyak negara yang mulai membatasi pembiayaan (financing) terhadap pemanfaatan batubara karena dianggap bukan energi bersih," tutur Presiden Direktur Cirebon Power Heru Dewanto dalam gelaran buka puasa Masyarakat Ketenagalistrikan Indonesia (MKI) di Jakarta, Rabu (7/6) malam.

Kebijakan pemerintah mendorong pemanfaatan batubara sebagai energi primer, semestinya diiringi dengan strategi khusus. Apalagi gelombang resistensi terhadap energi fosil semakin meluas yang mana berpotensi mempersulit investor dalam memperoleh sumber pendanaan.

Dia mencontohkan Pemerintah Jepang yang dilematis memberikan pembiayaan terhadap pembangkit listrik berbasis batubara lantaran munculnya protes dari aktivis lingkungan. Situasi serupa, sambung Heru, sebenarnya mulai terjadi di Indonesia.

Proyek yang digarap perusahaan yaitu Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Cirebon II terpaksa terhenti akibat putusan PTUN yang mengabulkan gugatan terkait izin lingkungan. Gugatan yang dilayangkan warga dialamatkan kepada Pemprov Jawa Barat selaku pemberi izin.

Munculnya putusan tersebut membuat pihak pemberi pinjaman menahan kucuran dana terhadap proyek yang diharapkan memperkuat sistem interkoneksi Jawa-Madura-Bali. Seperti diketahui, Cirebon Power telah meneken perjanjian pendanaan dengan tiga lembaga keuangan meliputi Japan Bank for International Cooperation (JBIC), Korea Eximbank (KEXIM) dan Nippon Export and Investment Insurance (NEXI), dengan nilai US$1,74 miliar. Proyek pembangkit berkapasitas 1.100 megawatt (MW) tersebut digarap bersama inverstor lain yang berasal dari Jepang dan Korea.

"Bayangkan bagaimana usaha dapat berjalan tanpa izin yang tidak jelas. Tidak perlu semua pembangkit listrik alami masalah seperti kami. Cuman tolonglah regulasi pemerintah harus prudent, jangan kalah di pengadilan. Bagaimana pemerintah melindungi investor kalau tidak bisa melindungi diri sendiri," cetusnya.

Keluhan terhadap perubahan regulasi baik dari pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, sudah lama menjadi momok di tengah investor. Selain itu, pemerintah diharapkan lebih agresif untuk mengkampanyekan pemanfaatan batubara sebagai energi primer pembangkit. Edukasi dikatakannya penting agar tidak terjadi kesalahpahaman yang berujung merugikan investor.

Heru berdalih tudingan negatif terhadap pemanfaatan batubara sebenarnya dapat diatasi dengan kemajuan teknologi. Urgensi dukungan terhadap batubara pun sejalan dengan keinginan pemerintah dalam mengembangkan pembangkit listrik yang mengacu prinsip biaya penyediaan terendah (least cost).

"Pemerintah harus bisa memberikan edukasi ke masyarakat, mengapa batubara dialokasikan hingga 50%. Tentu ada alasannya, salah satu ya murah. Perlu ada kampanye berkelanjutan, kalau tidak sulit bagi investor jalankan pembangkit batubara," ujar Heru.

Pada kesempatan tersebut, Ketua Umum MKI Supangkat Iwan Santosa menekankan perlunya kepastian terhadap keberlangsungan pasokan batubara. Mengingat, kebutuhan batubara untuk operasional pembangkit bersifat jangka panjang dengan kisaran 20-25 tahun.

Memang cadangan batubara nasional terbilang melimpah yang diasumsikan 30 miliar ton. Dengan asumsi rata-rata penggunaan batubara untuk sistem kelistrikan nasional 80 juta ton per tahun, maka potensi cadangan yang tersisa masih bisa menopang hingga 300 tahun kemudian.

Namun perhitungan tersebut, sambung Iwan, bisa saja meleset apabila aktivitas ekspor batubara terus meningkat yang mana menekan serapan pasar domestik (domestic market obligation/DMO).

"Ini yang perlu diwaspadai. Cadangan (reserve) batubara kita memang besar. Hanya saja begitu ekspornya meningkat terus, maka alokasi buat domestik yang terancam. Sebaiknya cadangan disimpan untuk energi, ketimbang pada akhirnya kita impor batubara," urai Iwan yang juga menjabat Direktur Pengadaan PT Perusahaan Listrik Negara (Persero). (OL-6)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Dwi Tupani
Berita Lainnya