Headline
Surya Paloh tegaskan Partai NasDem akan lapang dada melakukan transformasi regenerasi.
Surya Paloh tegaskan Partai NasDem akan lapang dada melakukan transformasi regenerasi.
Dalam mewujudkan swasembada bahan bakar minyak (BBM), PT Pertamina (Persero) telah membuat perencanaan proyek kilang Refinery Development Masterplan Program (RDMP) maupun New Grass Root Refinery (NGRR). Namun dalam perjalanannya, perseroan harus mengkaji kembali aspek finansial terhadap sejumlah proyek kilang yang dibangun secara paralel.
"Harus ditata ulang dengan melihat kemampuan keuangan Pertamina. Secara garis besar, ada dua (proyek kilang) yang ber-partner. Jadi kita gak bisa tentukan sendiri, harus bicara dengan partner," ujar Direktur Utama Pertamina Elia Massa Manik dalam RDP dengan Komisi VII DPR RI di Jakarta, Selasa (6/6).
Dua proyek kilang yang digarap dengan investor lain ialah Kilang RDMP Cilacap dengan Saudi Aramco dan Kilang GRR Tuban dengan Rosneft. Dengan adanya tinjauan kembali, sejumlah proyek strategis berpotensi mundur dari jadwal perencanaan.
Kendati demikian, Massa memastikan mundurnya beberapa proyek kilang tidak akan mengganggu pencapaian target kapasitas kilang nasional 2 juta barel per hari (bph) per 2025.
Dia menjelaskan Kilang RDMP Cilacap yang semula ditargetkan rampung 2021, bergeser pada 2023. Kemudian, Kilang GRR Tuban target penyelesaiannya tahun 2022 mundur menjadi 2024.
Menurut Massa wajar bila perseroan melakukan kajian ulang finansial bersama mitra kerja mengingat nilai investasi proyek kilang tergolong besar. Nilai investasi Kilang Cilacap sebesar US$6 miliar (sekitar Rp78 triliun) dan Kilang Tuban mencapai US$13 miliar (Rp169 miliar).
Pun mundurnya realisasi pengerjaan kilang turut mengantisipasi penumpukan beban finansial. Apalagi Pertamina masih menanggung piutang pemerintah berkisar Rp40 triliun yang hingga kini belum dibayarkan. Akumulasi utang pemerintah muncul lantaran adanya program subsidi BBM.
"Dua proyek bermitra ini kan hampir puluhan miliar dolar AS. Kalau kita memberikan off take agreement itu harus mengakui liabilitasnya. Nah ini yang perlu kita reschedule, karena begitu liabilitas diakuin kemudian nambah utang dan membuat covenant kita naik uang mana ada debt dibagi equity dan modal. Makanya kita reschedule ke belakang sedikit tetapi tetap memenuhi target 2025," paparnya.
Adapun, Direktur Megaproyek Pengolahan dan Petrokimia Rachmad Hardadi menuturkan pihaknya masih melakukan negosiasi dengan mitra kerja yakni, Rosneft dan Saudi Aramco.
Dari hasil negosiasi dengan Saudi Aramco, terdapat perubahan ketentuan (term and condition) di mana produksi tidak seluruhnya diserap (off take) Pertamina. Hanya saja belum ada keputusan terkait besaran share yang diambil investor.
Sebagai informasi, Joint Venture Development Agreement (JVDA) dengan BUMN asal Arab Saudi diteken Desember 2016. Kajian terhadap aspek AMDAL ditargetkan selesai pada kuartal III 2017, sedangkan tahap Front End Engineering Design (FEED) dimulai kuartal IV 2017. Dengan Rosneft, sambung Hardadi, pihaknya baru akan melakukan negosiasi lebih lanjut melalui Steering Comittee (SC).
Pembentukan Joint Venture (JV) dengan investor asal Rusia sudah diteken sejak Oktober 2016. Baik aspek analisa dampak lingkungan (AMDAL) maupun Basic Engineering Design (BED) ditargetkan rampung kuartal III 2017.
"Mengugat beberapa proyek ber-partner, tentu harus ada kesepakatan kedua belah pihak (termasuk memundurkan jadwal). Kecuali untuk kilang yang digarap sendiri oleh Pertamina, itu baru bisa firm kepastiannya," kata Hardadi.
Proyek kilang yang digarap mandiri oleh perseroan ialah Kilang RDMP Balikpapan yang ditargetkan on stream 2020 dan Kilang RDMP Balongan dengan target on stream 2021. (OL-6)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved