Pemerintah Pacu Kontribusi Manufaktur

Fetry Wuryasti
29/5/2017 02:00
Pemerintah Pacu Kontribusi Manufaktur
(ANTARA/Umarul Faruq)

KEMENTERIAN Perindustrian (Kemenperin) terus memacu kinerja industri logam, mesin, alat transportasi dan elektronika (ilmate) agar berkontribusi signifikan pada pertumbuhan sektor manufakur dan ekonomi nasional.

Pada 2016, sektor itu tumbuh 3,87% dengan menyumbangkan sekitar 4,93% terhadap total PDB nasional.

"Share industri manufaktur terus ditingkatkan karena selama ini jadi penggerak utama bagi pertumbuhan ekonomi. Targetnya mencapai 30%. Saat ini, baru 18%, masih butuh 12%. Untuk itu, kami akan dorong tiga kelompok industri, yakni logam, kimia, dan agro," kata Dirjen Ilmate Kemenperin I Gusti Putu Suryawirawan melalui siaran persnya, kemarin.

Ia mengatakan ada dua subsektor ilmate yang jadi penyumbang terbesar PDB sektor industri non-migas pada 2016, yaitu industri barang logam, komputer, barang elektronik, optik, dan peralatan listrik sebesar 10,71%, serta industri alat angkutan 10,47%. Adapun kontribusi industri logam dasar 3,96%, serta industri mesin dan perlengkapan 1,78%.

"Sekarang kami fokus mendongkrak kinerja industri logam dasar berbasis mineral, yang meliputi besi baja, aluminium, tembaga, dan nikel. Apalagi logam dasar sebagai bahan baku pokok produksi menunjang pembangunan infrastruktur yang sedang gencar dijalankan pemerintah. Jadi, peluangnya amat besar," jelas Putu.

Karena itu, Kemenperin mendorong hilirisasi keempat logam mineral itu karena berefek berganda bagi perekonomian melalui investasi dan peningkatan nilai tambah.

"Untuk menumbuhkan investasi industri smelter, kami menyusun rekomendasi kebijakan insentif, seperti kemudahan memperoleh fasilitas tax holiday dan tax allowance," kata Putu.

Putu melanjutkan Kemenperin juga tengah fokus mengembangkan industri elektronika dan telematika pada penumbuhan industri komponen, telepon seluler, perangkat lunak, dan konten multimedia.

Kemudian, pengembangan industri permesinan dan alat mesin pertanian.

Kemudian, fokus pada industri pembangkit energi, industri alat berat, industri barang modal, komponen, bahan penolong dan jasa industri, serta industri alat kesehatan.

"Melalui berbagai rencana aksi, kami menargetkan pertumbuhan sektor ilmate mencapai empat koma sekian per-sen pada 2017," tegas Putu.

Harmonisasi regulasi

Direktur Industri Logam Kemenperin Doddy Rahadi menambahkan Indonesia kini ada di peringkat ke-6 Asia dalam produksi baja kasar yang mencapai 8 juta ton per tahun.

Namun, Indonesia tidak boleh lengah karena negara ASEAN lain tengah berbenah memajukan industri baja, seperti Vietnam, yang memiliki rencana membuat 10 blast furnaces sampai 2030 untuk industri baja dan perkapalan.

Untuk itu, kata Doddy, perlu ada perbaikan dan harmoni-sasi regulasi agar industri baja nasional tumbuh dan berkembang.

Dari aspek energi, tantangan industri baja ialah harga listrik dan gas yang masih tergolong tinggi.

"Kenaikan harga listrik 1 sen per kWh, dapat menaikkan ongkos produksi baja mencapai US$8 per ton," ungkap Doddy.

Kemenperin pun mengusulkan harga gas kebutuhan produksi baja berada di kisaran US$3-US$4 per mmbtu, agar industri baja berbasis gas bisa beroperasi kembali.

Pada awalnya harga gas bagi industri baja mencapai US$6,3 per mmbtu.

Untuk mendukung daya saing dan tumbuhnya industri baja, dari aspek teknologi, ia menilai perlu ada revitalisasi terhadap permesinan pada industri baja. (E-3)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Vicky
Berita Lainnya