Perseteruan Mereda, Komitmen Freeport Mesti Dijaga

Andhika Prasetyo
08/5/2017 16:22
Perseteruan Mereda, Komitmen Freeport Mesti Dijaga
(ANTARA/MUHAMMAD ADIMAJA)

PERSETERUAN antara pemerintah dengan Freeport Indonesia sudah mereda. Namun, harus tetap ada upaya dari kedua belah pihak untuk mencapai kesepakatan bersama dan komitmen untuk memenuhi kesepakatan tersebut.

Pakar Hukum Pertambangan Abrar Saleng mengatakan, sebagai perusahaan kontrak karya (KK) yang sudah lama berinvestasi, Freeport seharusnya sudah membangun smelter di dalam negeri sesuai dengan amanat Pasal 103 Undang-Undang Minerba.

Freeport, tegasnya, harus mampu meyakinkan pemerintah dan pemda bahwa mereka memang memiliki komitmen kuat untuk memberikan kontribusi lebih besar. "Jadi perlu dibicarakan kedua belah pihak. Bagaimana komitmen smelter ini," ujar Abrar dalam sebuah diskusi di Jakarta, Senin (8/5).

Abrar menambahkan, terkait divestasi saham, seharusnya Freeport mau menerima dan patuh pada aturan. Jika menolak divestasi saham, perusahaan harus dapat menjelaskan secara masuk akal alasan penolakan yang mereka lakukan.

"Freeport memiliki kewajiban divestasi 51% saham. Kalau mereka menolak harus ada alasan rasional di belakangnya. Jangan sampai ada dusta di antara keduanya," tandasnya.

Dalam kesempatan yang sama, pengamat pajak Yustinus Prastowo memberikan pandangan terkait persoalan pajak yang juga menjadi salah satu akar perseteruan kedua belah pihak.

Sesuai Peraturan Pemerintah No 1/2017, perusahaan tambang pemegang Kontrak Karya harus mengubah status kontraknya menjadi izin usaha pertambangan khusus (IUPK) untuk mendapatkan izin ekspor konsentrat. Freeport, sebagai pemegang KK masih enggan melakukan hal itu.

Saat ini, Yustinus mengungkapkan, Freeport membayar pajak penghasilan (PPh) badan sebesar 35% sebagaimana ditetapkan di dalam KK. Sementara, di aturan terbaru, PPh Badan hanya 25%. Jadi, ia melanjutkan, sebetulnya pajak IUPK lebih kecil.

“Tetapi Freeport keberatan dengan IUPK karena khawatir dibebani pajak-pajak dan pungutan baru di kemudian hari. Yang mereka butuhkan ialah kepastian, kestabilan jangka panjang, bukan pajak yang lebih kecil," tuturnya.

Sebagai jalan tengah, ia mengungkapkan perlu adanya sebuah klausul yang menyatakan bahwa pajak dan royalti dapat berubah dengan kesepakatan kedua belah pihak. "Dengan begitu, Freeport mendapat kepastian dan pemerintah juga tidak terbelenggu ketika ingin memperoleh pendapatan lebih baik dari pertambangan," paparnya. (X-12)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Ahmad Punto
Berita Lainnya